Jumat, Maret 27, 2009

Jakarta (1)

Siang itu terasa panas benar. Matahari sedang berada tepat berada di atas kepala. Meskipun Mak Kacrut sedang berada di dalam kedai nasi namun atapnya yang terbuat dari asbes itu malah semakin menambah gerah suasana siang itu. Apalagi Mak Kacrut baru saja menghabiskan sepiring pecel lele yang dilengkapi sambal ekstra pedas. Deraslah keringatnya membanjir. Kancing atas baju batiknya yang lusuh sengaja ia biarkan terbuka. Sesekali ia mengelap dahinya yang basah oleh keringat dengan sapu tangannya yang dekil. Hembusan kipas angin kecil yang sudah tidak ada penutup tidak terasa sama sekali. Padahal sudah sejak tadi kipas itu bergeleng-geleng di pojok atas ruangan.

Seperti biasa, setiap sehabis makan Mak Kacrut mengeluarkan rokok kreteknya yang tanpa filter dari kantung bajunya. Perlahan-lahan ia memijit-mijit rokok yang padat tembakau itu dengan jari telunjuk dan jempolnya agar nanti mudah dihisap. Sambil meraba-raba saku baju dan celananya untuk mencari pemantik Mak Kacrut memesan segelas kopi gitel kesukaannya. Ya, kopi legit, manis, nan kental memang menjadi menu andalan kedai nasi itu sehingga setiap jam istirahat makan siang kedai ini selalu dipadati karyawan dari kantor-kantor di sekitar. Setelah pemantik itu ketemu, Mak Kacrut membakar ujung rokoknya. Asap pun perlahan mengepul keluar diantara bibirnya yang hitam keunguan.

Di luar sana, di jalanan, antrian kendaraan sedang berbaris rapi di tengah kepulan kabut asap dirinya sendiri. Entah apa yang mereka tunggu… (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Add to Technorati Favorites