Saya kenal sebuah tempat makan yang asyik. Sebenarnya hanya warung bubur kacang hijau—meski di situ juga menyediakan indomie rebus. Harga semangkuk bubur kacang hijau di situ lumayan murah, cukup tiga ratus rupiah dan tinggal tambah dua ratus rupiah jika ingin dicampur dengan pulut.
Setelah kenyang makan biasanya saya mampir ke warung rokok sebelah buat membeli rokok barang sebatang—kadang dua kalau penjualnya tidak punya uang kembalian limapuluh rupiah. Ya, untuk membeli dua batang rokok kretek cukup dengan uang seratus rupiah.
Sambil menikmati rokok biasanya saya bersama beberapa kawan mengobrol ngalor ngidul. Menggunjingkan, membahas aib orang lain. Memang, warung itu cocok buat mereka yang ingin menjaga pergaulan sembari melepas kepenetan setelah hampir seharian belajar. Jam dua sampai jam tiga siang pengunjung warung itu bisa dipastikan hanya anak-anak SMU. Persis di seberang warung itu ada sebuah SMU.
Penjaga warung itu asli orang Kuningan, Jawa Barat. Beberapa waktu lalu, melalui pintu warungnya yang selalu menyapa, dari dalam angkot saya sempat melihatnya masih dengan lincah melayani para pelanggannya. Garis-garis mukanya seperti tidak berubah. Kumis tipisnya masih yang dulu. Bahkan warungnya pun masih seperti dulu. Bercat biru muda dengan jendela yang terbuka-lebar dan ditutupi kawat ayam. Jendela yang lebar itu sebagian ditutupi tirai kecil dari kain yang berwarna biru tua. Kain itu sudah usang, banyak bolong-bolong bekas terkena bara rokok kretek yang terbang. Semuanya persis sama seperti enam tahun yang lalu ketika terakhir kali saya menikmati rokok sehabis makan bubur kacang hijau bersama beberapa kawan setelah belajar seharian di sekolah di seberang warung bubur itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar